Kiyai

Kiyai adalah sebutan untuk petinggi agama di pulau Jawa-Madura pada umumnya. Panggilan yang dilekatkan hanya pada orang-orang tertentu ini merupakan gabungan dua suku kata yang kemudian menjadi satu nama yaitu “Ki”, yang memiliki makna seorang laki-laki yang dituakan atau dihormati. Adapun “Yai”, ia punya makna besar dan luas. Jika digabung maka akan memiliki makna yang teramat apiknya, manusia yang berkapasitas luas, berwibawa, berkarekter pemimpin, sekaligus dihormati serta dijadikan rujukan dalam segala urusan karena pengalamannya yang  seluas samudera. Gampangnya, kiyai adalah gelar seseorang yang memiliki kedudukan khusus dimata masyarakat dan Tuhan. 

Tetapi tunggu dulu. Penyebutan kata kiyai, jika ditelusuri lebih jauh lagi, ternyata tidak hanya menempel pada manusia saja, ia juga melekat pada sebuah pusaka atau sesuatu yang dianggap bertuah. Semisal, Kiyai Sangkelat nama sebuah keris pusaka di jaman Majapahit, karya Empu Supa Mandagri. Atau, Kiyai Selamet, nama kerbau di keraton Yogyakarta. Pokoknya, apapun dan siapapun yang dipanggil kiyai , keramat.

Kembali kemasalah awal, tidak sedikit orang yang mendamba laqob atau julukan ini disematkan pada dirinya. Kekuatan magis yang terkandung didalamnya sangatlah menggiurkan, bertumpu pada kesaktian panggilan ini siapapun bisa berkehendak sesuka hati, menjadi terkenal atau, bahkan bisa mendulang rupiah sebanyak-banyaknya. Bagi mereka –ulama gadungan– yang menginginkan sebutan kiyai melekat pada dirinya, tak ubahnya sebuah maha gelar demi menunjang pribadi yang kurang percaya diri. Gampangnya, untuk gagah-gagahan.

Kendati demikian, ternyata banyak pula yang tidak mau menyandang gelar ini meskipun dirinya sudah mempunyai krediblitas dan kapasitas yang cukup, dengan alasan, amanah yang ada didalamnya tidak hanya di dunia. Bahkan,  tanggung jawab akibat gelar kiyai berkelanjutan ke akhirat kelak. Maka tak heran, jika tak terhitung sedikit pula yang bersembunyi supaya panggilan prestisius itu tidak hinggap di depan namanya. Tetapi demi umat, banyak penyandang maha gelar itu menerima saja sebutan itu menghiasi namanya beserta tangis malam yang mengadu pilu kepada tuhannya, mendo’akan orang-orang yang begitu setia dan percaya memanggil dirinya kiyai.

Gelar ini memang fantastis sekali. Sebab, orang yang menyandang gelar ini akan diikuti segala tindak lampahnya, dicintai, dan masyarakat yang memberi atau, berlapang dada mengakui sebutan kiyai melekat pada orang tersebut, rela berkorban jiwa dan raga terhadap penyandang gelar. Salah satu bentuk kehebatan pemangku gelar ini yaitu, bisa dipastikan lingkungan disekitarnya baik dan berkah. Maksud saya yang benar-benar pantas di panggil kiyai. 

Penyandang gelar ini disebut warisan para Nabi. Sebagaimana wudhu, sesuatu yang berhubungan dengan sesuatu yang mulia, maka ia pun larut di dalam kemulian. Itulah kiyai. Merekalah tali kokoh yang menolong manusia agar tetap terhubung dengan ajaran Nabi dan Tuhannya.

***

Syahdan, suatu hari ada seorang pemuda pengembara, ia singgah di suatu daerah terpencil. Perjalanan jauh yang ia tempuh cukup melelahkan rupanya. Setelah beberapa hari berdiam diri melepas lelah, pemuda itu sedikit merasa ganjil dengan daerah yang baru saja disinggahannya. Karena daerah itu tidak ada kiyainya. Buntut dari sebuah daerah yang tidak memiliki ulama atau kiyai adalah kemaksiatan yang meraja-lela.

Barangkali karena biaya kampanye begitu mahal sehingga tidak ada yang mendaftar menjadi kiyai.

Daerah itu kering-kerontang dari rutinitas agama, kosong akan mauidzah dan tempat itu benar-benar butuh akan sentuhan tangan dingin seorang kiyai. Pemuda itu berfikir keras. Bagaimanapun desa Curug Gedang itu tidak boleh dibiarkan begitu saja, terlelap dalam gelap-pekat kebodohan, kezaliman serta maksiat yang terus berpentas dan dianggap pantas. Tekad pemuda itu.

Pemuda itu tetap tinggal di Surau tua daerah tersebut dalam beberapa hari, seraya memikirkan bagaiman daerah itu tidak tandus dengan ajaran agama, dan ia tetap melakukan rutinitas seperti biasa dalam perjalanannya, bermunajah kepada Tuhan. 

Hiangga pada suatu hari pemuda itu tertaut pada seseorang yang sudah beberapa hari selama pemuda itu tinggal di Surau, orang itu begitu rajin sholat berjamaah di surau yang ia singgahi dalam pengembaraannya. Ia pun penasaran dan sering memperhatikan orang yang bertindak sebagai imam itu. Dan sepertinya orang itu juga kompeten dalam menjalani tata hidup yang islami, terbukti tata krama yang begitu apik selalu menghiasi prilaku dan tutur-sapanya kepada siapapun. Perkiraan usia, orang itu sudah berkepala empat.

“Anak dari mana?” Sapa orang berjenggot putih dan peci putih yang menawan pemuda itu disuatu hari.

“Dari desa seberang pak” 

“Hendak kemana nak, barangkali bapak bisa membantu” 

“Ke sebuah tempat yang tidak terlalu jauh pak. Insya Allah tidak lama lagi sampai” pemuda itu menjelaskan. “O iya. Nama bapak siapa?” Lanjutnya.

“Mawaruddin. Kalau anak siapa?”

“Rohim Warisi pak”

“Bolehkah saya tinggal lebih lama disini pak” 

“Dengan senang hati nak” Pak Mawar beranjak pergi setelah mengucap salam kepada Rahim. Memang tidak bisa dipungkiri. Bapak Mawar benar-benar berbudi luhur, sopan dan santun. Sepertinya bapak Mawar juga orang berilmu tinggi. Tetapi begitulah, kerapkali nasehat dan ajakannya kepada masyarakat, tidak begitu diperhatikan. Hanya beberapa gelintir orang saja. Entah dan kenapa pemuda itu belum tahu.

Barangkali saja, masyarakat terjebak oleh pengertian keliru, sebab pada umumnya, penyemetan kata kiyai yang sudah menjadi nama itu hanyalah bagi mereka yang punya pesantren berikut santrinya yang berjubel-jubel sebagaimana lumrahnya yang tersebar dimasyarakat luas. 

***

Pada malam hari, pemuda itu tidak henti-hentinya bermunajat. Dan, di tengah dzikir yang tak diketahui sudah berapa ribu persisnya, mendadak saja, tiba-tiba timbul ide di kepala Rohim Warisi untuk berkarya. Menciptakan seorang kiyai di daerah tersebut. Luar biasa.

Rahim Warisi, adalah tipikal pemuda yang tak pernah menunda-nuda kesempatan. Terbukti sekali, jika adzan berkumandang tak pernah terlintas sedikitpun dibenaknya untuk menunda barang sebentar saja. Ia segera bergegas diri menyambut panggilan yang merasuk kalbu. Hayya ‘alasshalah. 

Terang saja, saat itu juga Rahim Warisi langsung mengontak kolega-koleganya dan ia memetakan ide yang baru saja berkelebat. Lantas dimulailah ide itu dengan cara yang begitu apik. 

Begini rencanya.

Awal mulanya, teman-teman Rahim Warisi pura-pura bertanya kepada masyarakat daerah tersebut tentang seorang kiyai  yang bernama lengkap Mawaruddin  Maksum. Lalu berangkatlah mereka semua ke daerah yang sudah ditunjukkan oleh Rahim Warisi dan juga rutenya melalui Google Map. Desa Curug Gedang.

“Bapak tahu dimana ndalem yai Mawar?” tanya salah satu gerombolan penipu yang berjumlah enam orang. 

“Wah. Disini tidak kiyai mas. Apalagi kiyai  Mawar” Jawab kakek yang memegang cangkul di pinggir jalan itu.

“Coba kakek ingat-ingat lagi” 

“Beneran mas. Kalau Mawar sih ada, tapi bukan kiyai”  Jawab kakek lugu.

“O. Ya sudah kek. Terimakasih”

Tidak berhenti disitu saja. Tentu saja. Mereka terus bertanya kepada setiap pengguna jalan yang berlawanan arah. Tentu saja mereka semua jawab tidak tahu, kalau Mawar ada kata mereka. Sama persis seperti jawaban kakek suaminya nenek yang berada di pinggir jalan sebelumnya.

Terdengarlah kasak-kusuk kiyai Mawar di daerah itu. Masyarakat Curug Gedang gempar. Mereka terheran-heran dengan salah satu warga yang bernama Mawar. Perihal beberapa orang yang mencarinya dengan paggilan kiyai.

Rupanya cerdas sekali pemuda yang baru dapat dua minggu singgah di Curug Gedang itu. Rahim Warisi bersama komplotannya mengadakan acara berikut pemberi mauidzahnya. Mereka menjadikan Mawar sebagai penceramah dan dipanggil dengan embel-embel kiyai. 

“Kiyai  saya dan teman-teman hendak membuat acara, sudikah njenengan mengizinkan sekaligus njenengan menjadi penceramah” Rahim Waris sowan kepada Bapak Mawar bersama sahabat-sahabatnya.

“Saya bukanlah kiyai, jangan panggil begitu. Baiklah, acara apa yang kalian maksud” Jawab Bapak Mawar.

“Iya kiyai. Maaf. Acara tasyakkuran saja kiyai. Kebetulan masyarakat sekarang sudah panin”

“Mendadak sekali. Ada apa sebenarnya?”

“Tidak apa-apa kiyai. Cuma ingin mengajari masyarakat bersukur atas nikmat Tuhan” Jawab Rahim menyembunyikan tujuan utamanya.

“Baiklah. Dimana tempatnya?”

“Di Surau”

Meskipun berbagai rintangan aral melintang, dari berbagai pihak yang tidak ingin acara itu terjadi. Acara demi acara itu berjalan dengan begitu mulusnya.

Dan benar saja. Hasilnya bisa ditebak. Tidak lama berselang kemudian, bapak tua yang rajin beribadah itu menjadi betul-betul kiyai Mawar. Meskipun hanya sebagian saja yang begitu mantap jaya memanggil kiyai, seiring berjalannya waktu masyarakat setempat akhirnya terbiasa dengan panggilan kiyai Mawar. 

Pemuda yang bernama lengkap Rohimuddin Warisi itu, tidak membuang kesempatan menambah amal, dengan begitu cekatannya ia bersama gerombolan-gerombolannya segera merenovasi satu-satunya Surau yang berdekatan dengan ndalem  kiyai  Mawar. Semua elemen masyarakat tergerak. Mereka berbondong-bondong bekerja bakti. Hanya dalam hitungan hari Surau itu berdiri gagah, dan siap menampung ibadah. Anak-anak sudah terdengar mengeja huruf hijaiyah. Selain itu, Si Mbah Mawar dengan telatennya mengajar masyarakat hukum-hukum dasar agama dengan semangat. Dan bersabar. Tentu saja.

***

Dua purnama telah lewat. Dan diakhir cerita, masarakat Curug Gedang tunduk dan patuh kepada kiyai Mawar terhadap ajarannya tentang Islam. Ternyata masyarakat begitu antusias dengan cahaya Islam. Apalagi tinggal satu bulan lagi, bulan Ramadhan akan segera bersambut. Mereka pun bertambah menggegap-gempita menyambut bulan yang penuh rahmat nan berkah itu. Karena kiyai Mawar sudah siap sedia membimbing mereka menjaring berbagai kebaikan di bulan yang Al Qur’an turun untuk pertamakalinya. 

Di kejauhan, Rohim Warisi hendak berangkat meninggalkan desa itu. Namun sebelum ia membalikkan badan untuk meninggalkan desa Curug Gedang untuk selama-lamanya, ia melihat Surau itu seraya tersenyum penuh haru. Air mata di kelopaknya tak terbendung. Jebol, bersama untaian tasbih dan tahmid yang terlantun dibibirnya. Tak henti-hentinya ia bersyukur kepada Tuhan seru sekalian alam yang telah memberinya taufiq dan hidayah kepada dirinya dan masyarakat yang akan segera ia tinggalkan. Subhanallah walhamdulillah. Lirihnya.

8 comments

  1. Di Lombok sebelum abad ke-17, mereka dipanggil Lalu. Setelah kata Lalu dieksklusifkan menjadi gelar bangsawan saja pasca abad ke-17 (oleh kerajaan Bali), ulama dipanggil Tuan Guru 😃

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar